Minggu, 12 Juni 2011

Nyontek Massal, Potret Buram Pendidikan Karakter

Berkowitz (2002) mengatakan bahwa karakter adalah karakteristik pribadi yang membimbing seseorang untuk melakukan hal yang benar dalam suatu situasi yang memberikan kesempatan untuk tidak melakukan hal yang benar. Ryan dan Bohlin (1999) medefinisikan karakter yang baik seperti mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Wiley (1998) berpendapat bahwa karakter adalah suatu dorongan dari dalam yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan moral yang baik, mempunyai kualitas seperti kejujuran dan integritas.

Kejujuran (honesty) adalah salah satu karakter mulia yang seharusnya dimiliki oleh seseorang. karena merupakan bagian dari nilai-nilai kehidupan  dari bangsa manapun di dunia. Karakter ini juga merupakan fitrah yang diberikan Sang Pencipta kepada manusia dan dapat kita saksikan pada anak-anak kecil yang masih polos yang tidak akan berbohong dalam mengemukanan sesuatu dan akan mengemukakan apa yang dialami atau dilihatnya apa adanya secara jujur. Menurut Piaget, anak pada tahap ini disebut tahap realisme moral. Di dalam tahap ini anak-anak cenderung memiliki perasaan dan pengertian yang bersih, dan mereka percaya bahwa pada umumnya jawaban atas nya benar dalam setiap situasi. Mereka cenderung mempercayai orang dewasa pada tahap ini dan tidak mempertanyakan satu penilaian moral orang dewasa. Pada tahap ini, anak-anak cenderung untuk percaya akan moral absolut dan cenderung untuk hanya melihat suatu situasi dari perspektif mereka sendiri. Jika ada seorang anak yang masih polos tetapi melakukan ketidak jujuran dapat dipastikan bukan faktor dari dalam (internal) anak, tetapi berasal dari faktor luar ( external) yaitu lingkungannya. Contohnya adalah seorang anak diminta ibunya untuk mengatakan tidak ada di rumah padahal ia ada dirumah, ketika si anak ditanya dimana ibumu, ia akan mengatakan saya tadi dipesan ibu  tidak ada di rumah. Jadi si anak sebenarnya tetap jujur dengan apa yang dikatakannya. Oleh karena itu karakter seseorang adalah dibentuk dan bukan dilahirkan, karena pada dasarnya manusia dilahirkan dengan membawa potensi karakter yang bersih, menjadi baik atau buruk bergantung bagaimana lingkungan membentuknya.

Tujuan pendidikan karakter bangsa di sekolah adalah: 1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, 2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius, 3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggungjawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa, 4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan, 5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). Menurut Ki Hajar Dewantara: “Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita”. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pendidikan karakter merupakan bagian integral yang sangat penting dari pendidikan kita. Jadi sangatlah ironis jika terjadi persekongkolan terorganisir yang dilakukan para penyelenggara pendidikan untuk melakukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional (UN) di sekolah. Namun hal tersebut benar-benar terjadi dalam kasus nyontek massal di Surabaya seperti berita berikut ini:

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA - Praktik curang dalam Ujian Nasional (UN) tingkat Sekolah Dasar (SD) berhasil ditemukan di SDN Gadel 2 Kota Surabaya. Praktik curang tersebut terbukti dilakukan dengan perencanaan lantaran adanya gladi resik sebelum ujian. Kepala Sekolah dan guru wali kelas pun terancam dipecat.
Bukti perencanaan praktik curang dalam UN tersebut ditemukan oleh tim independen yang dibentuk Pemerintah Kota Surabaya untuk menelusuri kecurangan selama UN. Tim tersebut meminta keterangan dari seorang siswa berinisial AI yang ditengarai telah memberikan contekan kepada seluruh peserta UN dari sekolahnya lantaran disuruh guru wali kelas.
“Dari keterangan AI, sore hari saat jam tambahan di sekolah sebelum hari H ada gladi resik mencontek. AI terpaksa memberikan contekan itu kepada teman-temannya, “ ungkap anggota tim dari akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Daniel M Rosyid, Ahad (5/6).
Daniel mengungkapkan AI telah dipaksa memberikan contekan. Pemaksaan tersebut dilakukan guru dengan menyatakan memberi contekan sebagai upaya membalas budi bagi guru. “Guru saya yang menyuruh memberikan contekan. Sebelum UN, dia bilang kapan lagi saya bisa membalas budi para guru dan apa saya tidak kasihan kalau teman yang lain tidak lulus, “ ujar AI yang ditirukan Daniel.
Selain itu, tim yang terdiri dari akademisi, Dewan Pendidikan Jatim, dan praktisi hukum tersebut menemukan adanya praktik intimidasi (bullying) terhadap AI dari guru serta sesama teman. Sebelumnya, orang tua AI melaporkan adanya praktik kecurangan tersebut ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya. Karena itu, tim tersebut merekomendasikan agar keluarga AI dilindungi pihak kepolisian.
Anggota tim idependen lainnya, Kresnayana Yahya mengatakan praktik kecurangan tersebut terjadi lantaran ada masalah dalam komunikasi. Ujian nasional telah menciptakan tekanan kepada para siswa sehingga mereka merasa ketakutan menolak perintah guru. “Ujian Nasional menciptakan pressure buat siswa dan sekolah, “ ujarnya.

SURABAYA, KOMPAS.com - Kepala sekolah, wali kelas, dan oknum guru F di SDN Gadel 2, Tandes, Surabaya, terancam mendapatkan sanksi administratif  akibat kasus praktik contek massal saat ujian nasional 2011 tingkat SD.
"Kami merekomendasikan ujian nasional di SDN 2 Gadel tidak perlu diulang agar tidak merugikan murid dan orangtua. Namun, Kepala Sekolah sekaligus wali kelas dan guru F perlu mendapatkan sanksi administratif," kata anggota Tim Independen Pemerintah Kota Surabaya, Prof Daniel M Rosyid, di Surabaya, Minggu (5/6/2011).
Kasus itu terungkap setelah orangtua siswa SD Gadel, Ny S, melapor ke Dinas Pendidikan Kota Surabaya terkait anaknya, AL, yang dipaksa gurunya untuk memasok bahan contekan untuk siswa di tiga kelas pada SD tersebut.
Bahkan, tiga bulan sebelum pelaksanaan UN, AL sudah didoktrin gurunya agar patuh memberi contekan dengan alasan membantu teman dan membalas budi guru.
Hal itu dilakukan karena dari hasil try out diketahui bahwa 25 persen dari 60 siswa kelas VI di sekolah itu kemungkinan tidak lulus.
Dalam laporan itu, Ny S menyesalkan tindakan sekolah yang mengajari anaknya untuk tidak jujur, padahal dia sudah bersusah payah mengajari anaknya untuk jujur dan sudah bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya.
Namun, AL dikabarkan tidak ikhlas dengan "perintah" gurunya. Oleh karena itu, ia terpaksa melakukannya dengan cara tidak sepenuhnya mengikuti "perintah" tersebut.

Kasus nyontek massal yang terjadi pada satu sekolah dasar di Surabaya tersebut merupakan potret buramnya pendidikan karakter di Indonesia. Betapa tidak, dengan dalih meningkatkan nilai UN (prestasi semu) semua unsur penyelenggara pendidikan mulai guru, wali kelas, kepala sekolah, dan komite sekolah bersekongkol untuk membenarkan nyontek massal pada para siswa, yang tentu disadari atau tidak telah membuat hancur karakter yang dimiliki siswa-siswa tersebut. Lebih parahnya lagi lembaga-lembaga di atasnya tutup mata atau “melindungi” terhadap ketidak jujuran tersebut. Kasus ini menjadi besar karena keberanian orang tua siswa untuk malaporkan nyontek massal yang dilakukan secara terencana dan sistematis tersebut. Namun sangat tragis nasib yang dialami orang tua siswa pelapor kecurangan tersebut karena berakibat masyarakat marah dan memusuhinya sehingga ia harus mengungsi dari rumahnya sendiri karena keamanan keluarganya menjadi terancam. Alangkah mahalnya kejujuran di negeri ini!

Keputusan walikota Surabaya dengan mencopot kepala sekolah yang bersangkutan dan menurunkan pangkat wali kelas dan guru yang terlibat adalah kebijakan yang tepat. Dengan keputusan tersebut setidaknya menyadarkan semua pihak terutama kepala sekolah, wali kelas, dan guru untuk tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji tersebut. Namun bagaimana dengan tindakan masyarakat yang memusuhi keluarga pelapor kecurangan tersebut? Kejadian tersebut seakan-akan menjadi pembenar adanya perbuatan curang atau tidak jujur, sehingga yang melaporkan kecurangan harus dimusuhi atau dilawan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sedang sakit! Masyarakat tampaknya sudah tercemari dengan tontonan sehari-hari di media massa dimana pejabat dan politisi korup dilindungi sehingga bebas sementara para pelapor korup tersebut justeru dihukum dan dipenjara. Kejadian tersebut dapat menjadi trauma di masyarakat sehingga lebih mendiamkan kecurangan dari pada jujur tapi hancur.

Permasalahan yang lebih serius adalah dampak yang ditimbulkan kejadian tersebut terhadap siswa-siswa yang terlibat. Bagi siswa pelapor yang merupakan siswa pandai di sekolah tersebut akan menumbuhkan trauma yang sangat mendalam yang akan diingat seumur hidupnya sehingga dapat menurunkan keberaniannya untuk mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Sementara bagi siswa teman-temannya yang mendapatkan contekan dapat mengakibatkan hilangnya sportifitas karena menganggap untuk mencapai prestasi boleh melakukan perbuatan curang. 

Kejadian di atas merupakan satu kejadian saja dan disinyalir masih banyak kejadian lain yang serupa tetapi tidak terungkap karena diredam dan disembunyikan. Kejadian tersebut telah mengundang keprihatinan kita semua, karena menunjukkan potret buramnya karakter yang dimiliki bangsa ini khususnya tentang kejujuran. Tentu tidaklah elok jika kita mencari kambing hitam siapa yang paling bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Sangatlah bijak jika semua lembaga yang terkait dengan dunia pendidikan mencari penyelesaian terbaik dalam kasus ini dengan melakukan refleksi diri dan mencari cara-cara efektif dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu semua pihak terutama para penyelenggara pendidikan perlu menyadari dan berusaha keras untuk memberikan model-model karakter mulia dengan mempertontonkan kepada masyarakat kebiasaan perilaku mulia termasuk kejujuran dan bukan perilaku sebaliknya, sehingga dapat menjadi panutan bagi masyarakat luas.

12 komentar:

  1. saya setuju dg artikel di atas bapak. .menurut saya, kejujuran haruslah di tegakkan, ,terlebih jujur terhadap diri sendiri n terhadap orang lain, ,mau jadi apa indonesia ini jikalau bangsa atau rakyatnya tidak dapat menanamkan kejujuran,seperti contoh yg di lakukan oleh kepala sekolah dan wakilnya yg di kota Gresik_
    bahkan saya merasa tindakan masyarakat sekitar yang mengetahui kejadian tersebut justru malah mengusir si pelapor(org tua si ank yg melaporkan kepala sekolah kd polisi)..sungguh sangat heraannn....

    BalasHapus
  2. susah memang menjauhkan ritual mencontek dari perilaku pendidikan di indonesia.Hal ini semestinya bisa diatasi jika saja sistem pendidikan di Indonesia dirubah.Sudah tersebar secara luas jika orientasi belajar siswa-siswi di sekolah hanya untuk mendapatkan nilai tinggi dan lulus ujian, lebih banyak kemampuan
    kognitif dari afektif dan psikomotor, inilah yang membuat mereka mengambil jalan
    pintas, tidak jujur dalam ujian atau melakukan praktek menyontek.
    coba aja klo orientasi pendidikannya ndag mentingin nilai tapi lebih mentingin pemahaman siswa, budaya mencontek kan tidak akan menyebar luas dan menjangkiti anak sekolah TK sampai mahasiswa.

    BalasHapus
  3. nyontek bukan berarti menyadur karena dua kata itu berbeda,karena Ketika Nyontek Dijadikan sebagai Budaya, bukan berarti kita harus selalu tergantung kepada orang lain dan hanya duduk menunggu mereka selesai, karena Nyontek yang saya maksudkan disini lebih kepada karena kita ingin tau maka kita melihat hasil pekerjaan orang lain, dan kita pun gak harus menelan mentah-mentah Hasil yang didapat orang lain itu, melainkan disini kita pun ikut menanyakan cara mendapatkan hasil itu serta berusaha mengembangkan, contoh negara China. Karena mustahil kita bisa nyiptain sesuatu klo kita gak pernah dapet gambaran tentang apa yang mau kita buat.Beda sama "Nyontek", Nyadur buat saya punya derajat paling rendah yang sebisa mungkin alangkah baiknya gak perlu dilakukan ataupun diajarkan sejak dini. Karena dinilai dari segi apapun buat saya itu Penjiplakan secara utuh yang cuma mengajarkan budaya Instan dari sebuah keberhasilan yang menurut saya justru sangat berbahaya. Kenapa saya katakan berbahaya? karena sekali aja seseorang diajarkan untuk menyadur, dia udah gak akan mau berusaha mencapai sesuatu dengan usahanya sendiri, dan ini yang jelas salah dan gak boleh dibudayakan.

    BalasHapus
  4. jika memang ingin menghapus budaya nyontek di Indonesia, saya rasa hal tersebut sangatlah sulit mengingat banyak faktor disini...
    faktor yang tidak dimiliki oleh anak kebanyakan adalah percaya diri ketika mengerjakan oleh suatu hal. harusnya sejak dini (satuan pendidikan yang paling rendah) anak-anak sudah dibiasakan bangga akan hasil pekerjaan yang dilakukannya sehingga tidak perlu minder jika hasil karyanya buruk, kita bisa memperbaikinya dengan meminta teman yang lebih ahli untuk mengajarkan bagaimana cara melakukannya. faktor penting yang lain adalah saat kita ada di suatu lingkungan dimana terdapat budaya mencontek, pengaruh untuk mencontek pun akan muncul karena kita akan merasa jika tidak mencontek maka hasil kita akan lebih jelek daripada orang yang mencntek, jadi sistem yang berlaku di lingkungan tersebut sangatlah berpengaruh. jika sistemnya ketat dan tidak memungkinkan seseorang untuk mencontek, seseorang tersebut akan terbiasa untuk tidak mencontek.

    BalasHapus
  5. saya setuju dengan Berkowitz (2002) yang mengatakan bahwa karakter adalah karakteristik pribadi yang membimbing seseorang untuk melakukan hal yang benar dalam suatu situasi yang memberikan kesempatan untuk tidak melakukan hal yang benar serta Ryan dan Bohlin (1999) medefinisikan karakter yang baik seperti mengetahui kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan, dan juga Wiley (1998) berpendapat bahwa karakter adalah suatu dorongan dari dalam yang dapat dipercaya untuk bertindak dengan moral yang baik, mempunyai kualitas seperti kejujuran dan integritas.
    Hendaknya sebagai generasi muda yang memikul masa depan bangsa, kita harus mendepankan integritas dengan menjaga agar tidak menyontek massal..
    Ini tentu saja dimulai dari diri kita sendiri, agar bisa mengharumkan nama bangsa dan agama..
    :-)

    BalasHapus
  6. saya setuju dengan novia nur aini, bahwasannya orang akan terbiasa tidak mencontek apabila sistemnya ketat. kegiatan mencontek akan menciptakan generasi mudah yang malas dan tidak percaya diri terhadap keputusan yang diambil. Mungkin kasus itu bisa diatasi dengan adanya pendidikan berkarakter yang mulai diterapkan di tiap-tiap sekolah. Tetapi hal tersebut juga tergantung terhadap guru, apakah bisa guru tersebut membangun karakter baik yang terdidik terhadap siswa.

    BalasHapus
  7. sebelumnya KEJUJURAN (HONESTY) harus selalu DITEGAKKAN.....

    Nyontek Massal, Potret Buram Pendidikan Karakter
    Model Pembelajaran COPY PASTE ???? Apakah solusi????
    Salahkah jika siswa nyontek di kelas ? jawabannya pasti salah,padahal yang bilang salah itu belum tahu salahnya dimana .Dan kalo kita tanya kenapa siswa ngga boleh nyontek, pasti jawabannya sangat normatif sekali, mendidik supaya siswa belajar jujur .Sesederhana itukah jawabannya ? Benarkah ? Marilah kita simak apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita yang semakin tidak jelas ini.Nyontek dalam bahasa komputer di sebut 'Copy Paste'.Berdasarkan data empiris,siswa yang sering melakukan 'copy paste' ternyata banyak membaca. Dan yang di 'copy paste' biasanya dianggap menarik.Walhasil siswa yang melakukan 'copy paste' dipastikan banyak membaca, jika dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah melakukan 'copy paste'. Jika nyontek diartikan 'copy paste' maka yang melakukan 'copy paste' akan lebih kreatif jika dibandingkan dengan yang tak pernah melakukan 'copy paste'. Jika demikian, salahkah siswa yang nyontek ? Kalau memang 'copy paste' dianggap bagus dalam memulai siswa kreatif, kenapa tidak kita lakukan model pendidikan 'copy paste' ?.Berdasarkan pengamatan dalam perlombaan LKS (Lomba Ketrampilan Siswa) SMK se-Jawa Barat di Bandung, beberapa waktu yang lalu, ternyata kejuaraan tersebut menilai siswa yang paling bagus 'copy paste' nya. Kenapa hal ini tidak dilakukan di kelas ? Tolong dong komentarnya ?

    BalasHapus
  8. Tindakan yang sudah membudaya di antara siswa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi ini mencerminkan masih rendahnya kesadaran siswa dalam menerapkan karakter yang baik. Inilah yang mendasari kenapa perlu ditekankan pendidikan karakter dalam model pembelajaran dan kegiatan pembelajaran dikelas. Dalam kegiatan pembelajaran ini, guru dapat mengoptimalkan fungsi dan perannya sebagai tenaga pendidik dan orang tua pengganti sehingga selain dapat mentransfer pengetahuan guru juga dapat menanamkan sifat-sifat dan karakter yang baik.

    BalasHapus
  9. Tindakan menyontek mengindikasikan bahwasannya standart kualitas pendidikan di Indonesia sangatlah rendah.Kejujuran yang seharusnya diutamakan seakan-akan menjadi dinomor duakan dengan tujuan yang paling utama adalah mendapatkan nilai ulangan bagus.Kemungkinan penyebab terjadinya tindakan ini ada beberapa macam.Salah satunya adalah ketidaksiapan siswa dalam menguasai materi yang dijadikan bahan ulangan,sehingga guru sebagai tenaga pendidik haruslah benar-benar memiliki kompetensi dalam bidang yang diampunya.Kemungkinan lain yang mungkin muncul adalah siswa tidak percaya diri dengan kemampuan dirinya dalam menguasai materi dan dalam mengerjakan soal sehingga selalu menggantungkan diri kepada temannya.Untuk hal ini ,guru dapat menyikapi dengan sering-sering memberikan soal evaluasi untuk mematangkan penguasaan materi kemudian membahasnya,ketika pekerjaan siswa menghasilkan jawaban yang benar,guru dapat memberikan reward sehingga siswa merasa bahwa pekerjaannya dihargai.Yang dapat dilakukan terakhir adalah guru dapat memasukkan konsep pendidikan karakter dalam kegiatan pembelajaran sehingga guru dapat menanamkan konsep materi pembelajaran sekaligus melatih siswa untuk membentuk kepribadian siswa dengan karakter yang baik.

    BalasHapus
  10. Menanggapi artikel tersebut, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak "umumnya siswa" atas tindakan menyontek yang telah membudaya di negeri kita ini, dimana tindakan menyontek yang sering kita dengar adalah yang terjadi di kalangan siswa. Menurut saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa menyontek.Pada dasarnya tindakan menyontek merupakan tindakan yang dilakukan karena terpaksa, tidak mungkin seseorang yang mampu melakukan sesutu dengan benar akan memilih melakukan sesuatu dengan cara yang salah. Misalnya, seorang siswa yang dapat menjawab soal dengan benar berdasarkan kemampuan sendiri, tidak mungkin memilih untuk menyontek temannya sementara dia sendiri tidak yakin apakah jawaban temannya itu benar.Ironisnya, justru orang tua dan guru yang sering "seakan-akan" memaksa siswa untuk memperoleh hasil atau nilai yang baik "menurut orang tua atau guru sendiri", dan sering kali hasil yang diperoleh siswa tidak sesuai dengan kemampuannnya sendiri. Tindakan menyontek bisa juga dilakukan karena pada saat tersebut, siswa dalam keadaan sakit sehingga dia terpaksa menyontek;ujian yang dilakukan secara mendadak sementara siswa belum siap menghadapi ujian sangat besar kemunginannya untuk mendoraong siswa menyontek; penjelasan guru atau kurangnya pamahaman siswa dapat menyebabkan siswa menyontek saat ujian;dan beberapa faktor lainnya.
    Jadi pada dasarnya, kita tidak dapat menyalahkan salah satu pihak saja atas tindakan menyontek, khususnya dalam dunia pendidikan, siswa bukan satu-satunya pihak yang disalahkan, melainkan semua pihak harus berusaha untuk meminimalisir terjadinya tindakan menyontek.

    BalasHapus
  11. Contek massal memang merupakan salah satu tindakan yang merusak karakter bangsa. yang jadi pertanyaannya adalah bagaimana sampai siswa itu bisa mencontek? dan bagaimana cara meminimalisirnya dalam proses pembelajaran? menurut saya jangan hanya murid yang dijadikan kambing hitam saja. peran siswa, guru, dan lingkungan sekitar juga mempengaruhi kondisi psikis dari siswa. masalah dasar mengapa siswa mencontek dikarenakan rendahnya tingkat kepercayaaan diri siswa terhadap kemampuan yang dimiliki. rendahnya tingkat kepercayaan diri ini disebabkan siswa bingung atau masih tidak mengerti tentang materi pelajaran yang dipelajari. bisa saja model pembelajaran yang kurang tepat penerapannya, atau juga bisa peran guru yang masih pasif dalam kelas. selain itu nilai masih dijadikan tujuan utama dalam hati siswa. mereka belajar bukan untuk mencari pemahaman tetapi untuk mencari nilai. lingkungan juga mempengaruhi. kejujuran akan tumbuh dimulai dari dalam diri siswa. alasan mereka mencontek karena ikut-ikutan dengan teman yang lain. sebaiknya lingkungan belajar harus di kondisikan agar siswa tidak saling menyontek. misalnya, guru ketat dalam penjagaan. sebelum ulangan, siswa diberi petunjuk tentang bahan ulangan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai

    BalasHapus
  12. ion%QQ*net|b4ny4k b0nu5 m3n4nt1 4nd4|pl4y3r b1s4 j4di b4nd4r|pin bb : 58ab14f5

    BalasHapus