Rabu, 01 Juni 2011

Guru Model Karakter dalam Pembelajaran

Banyak ungkapan menggambarkan pentingnya peran guru dalam pembentukan karakter dari anak didiknya. Satu ungkapan dari Tokoh Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara yang sudah sangat kita kenal yaitu:”Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”, yang berarti” Di depan sebagai teladan, di tengah sebagai pemrakarsa, di belakang sebagai pendorong” dapat dipakai sebagai acuan bagaimana seharusnya seorang guru berperan di depan anak didiknya. Dalam filosofi Jawa, istilah “Guru” diterjemahkan sebagai”Digugu lan ditiru” yang berarti”Dipatuhi dan dicontoh”. Dalam bahasa Indonesia, ada pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”, yang menggambarkan bagaimana perbutan buruk guru akan berdampak lebih buruk pada murid-muridnya.
Guru pada saat ini dihadapkan pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk mempersiapkan peserta didik agar mampu menghadapi berbagai dinamika perubahan yang berkembang dengan sangat cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran nilai dan moral dalam kehidupan masyarakat.
Banyak kasus dalam dunia pendidikan saat ini yang menunjukkan siswa telah mengalami dekadensi moral dan berkarakter buruk. Satu contoh adalah kekerasan yang dilakukan pelajar seperti aksi premanisme yang dilakukan oleh pelajar yang tergabung dalam Geng Nero, dan banyak lagi perilaku kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali hanya salah satu potret dari sekian banyak geng yang ada di lingkungan masyarakat yang dilakukan oleh pelajar. Kejadian seperti ini mungkin juga ada di sekolah-sekolah lain, namun tidak terekspos oleh media massa. Selain perilaku kekerasan, isu-isu rusaknya moralitas di kalangan remaja (penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan, perampasan, dan perusakan milik orang lain) juga sudah menjadi masalah sosial yang sangat memprihatinkan. Padahal akibat yang ditimbulkan sangat serius dan tidak  dapat dianggap persoalan sederhana karena tindakan-tindakan tersebut telah menjurus kepada tindakan kriminal yang sangat meresahkan masyarakat.
Kebanyakan orang berpandangan bahwa pendidikan adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap situasi ini. Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu penyebabnya adalah karena pendidikan di Indonesia masih lebih menitikberatkan pada pengembangan intelektual semata. Aspek-aspek yang lain khususnya aspek afektif (sosial dan karakter) kurang mendapatkan perhatian. Integrasi pendidikan dan pembentukan karakter masih merupakan titik lemah dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Seharusnya, sekolah dan guru sebagai pemegang peran dan tanggungjawab dalam pembelajaran tidak hanya berusaha agar kinerja siswa berhasil dalam aspek kognitif saja (tercermin dari hasil tes dan tingkat kelulusan dalam ujian nasional), tetapi harus juga menekankan pada aspek afektif. Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Muhammad Nuh menyatakan bahwa banyak pihak merindukan tentang penguatan pendidikan karakter dan budaya bangsa.
Banyaknya penyimpangan moral di kalangan anak-anak dan remaja saat ini menjadikan tugas guru menjadi sangat berat. Dalam situasi perubahan tata nilai yang terjadi di masyarakat yang begitu cepat, guru dituntut tetap menjaga integritasnya dengan tetap konsisten membangun karakter yang baik bagi anak didiknya. Guru memiliki peran yang sangat besar dan berpengaruh dalam kehidupan peserta didik, oleh karenanya masyarakat masih tetap berharap para guru untuk menampilkan perilaku (model) yang mencerminkan nilai-nilai moral dan etika, seperti keadilan, kejujuran, kedisiplinan, kepedulian, tanggung jawab, dll.
Menurut Lickona (1991), sekolah dan guru harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung jawab. Guru dalam bertugas sebagai pendidik dan pengajar harus dapat melayani dan berperan sebagai model pengembang karakter. Bagaimanapun perilaku dan tindakan guru dalam melaksanakan tugas-tugasnya merupakan wahana utama dalam pembelajaran karakter. Seorang guru yang berkarakter akan dapat mengetahui dan membedakan mana yang benar dan mana yang salah; jujur, dapat dipercaya, adil, hormat, dan bertanggung jawab; mengakui dan belajar dari kesalahan; dan berkomitmen untuk hidup menurut prinsip-prinsip ini.
Lickona (1991) menunjukkan bahwa karakter adalah penjelasan gejala umum dari orang-orang yang memiliki keberanian dan keyakinan untuk hidup dengan kebajikan moral. Setiap kali siswa terjebak dalam perbuatan buruk, seperti menyakiti orang lain atau berperilaku curang tidak akan terpuji. Demikian pula, jika siswa menyontek pada saat ujian atau menjiplak tulisan untuk mendapatkan nilai yang lebih baik, pada hakikatnya tidak memiliki karakter dan dasar moral terpuji.
Kajian-kajian ilmiah tentang perikalu tidak terpuji (amoral) yang dilakukan siswa dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat terbatas, namun di negara-negara maju seperti di Amerika sudah berkembang. Survei nasional yang dilakukan oleh The Ethics of American Youth, dari Josephson Institute of Ethics (2006), diketahui bahwa perilaku siswa dalam jangka waktu 12 bulan, yaitu: 
  • 82% mengakui bahwa mereka berbohong kepada orangtua
  • 62% mengakui bahwa mereka berbohong kepada seorang guru tentang sesuatu
  • 33% menjiplak tugas dari internet
  • 60% menipu selama pelaksanaan ujian di sekolah
  • 23% mencuri sesuatu dari orang tua atau kerabat lainnya
  • 19% mencuri sesuatu dari seorang teman
  • 28% mencuri sesuatu dari toko.
Perilaku tidak terpuji yang menerpa siswa sebagaimana tersebut di atas merupakan gejala umum yang berlaku di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sudah cukup banyak contoh dan perilaku tidak jujur yang dilakukan individu dalam dunia pendidikan, mulai dari siswa yang mencontek, menjiplak hasil karya orang lain tanpa menyertakan sumber, mencari-cari alasan untuk lari dari tanggung jawab atas tugas-tugas sekolah yang diberikan oleh guru. Kondisi ini menegaskan bahwa para guru yang mengajar mata pelajaran apa pun harus memiliki perhatian dan menekankan pentingnya pendidikan moral dan karakter pada para siswa.
Perilaku tidak terpuji yang ditunjukkan oleh siswa-siswa tersebut ternyata bertolak belakang dengan tanggapannya yang mengakui dan percaya bahwa karakter itu penting. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
  • 98% berkata, "Sangat penting bagi saya untuk menjadi orang dengan karakter yang baik"
  • 98% berkata, "Kejujuran dan kepercayaan sangat penting dalam hubungan pribadi"
  • 97% berkata, "Ini penting bagi saya bahwa orang percaya padaku"
  • 83% berkata, "Ini tidak layak untuk berbohong atau menipu karena bertentangan dengan karakter".
Dalam laporan tersebut juga disimpulkan bahwa semakin meluas dan mendalam perilaku kontradiktif yang terjadi mencerminkan sikap sinis siswa itu sendiri dalam proses rasionalisasi dengan cara mengabaikan kebenaran penilaian etika dan perilaku yang dinyatakan bertentangan dengan keyakinan moral (Josephson Institute of Ethics, 2006). Siswa menyatakan bahwa karakter itu penting, tetapi di sisi lain berbohong, menipu, dan mencuri.
Keteladanan hidup yang berbasis nilai adalah pemenuhan kewajiban dan kebenaran moral dengan karakter yang konsisten, atau berintegritas. Penjelasan ini benar-benar terlepas dari agama, budaya, ras, atau etnis. Seseorang dengan integritas perilaku yang saleh akan menjaga janji dan menahan diri untuk tidak berbohong, menipu, dan mencuri. Ketika berada di masyarakat, guru yang memiliki integritas dipandang sebagai model bagi orang-orang disekelilingnya. Model guru yang berintegritas adalah guru yang memilih untuk melakukan hal yang benar, sekalipun tidak ada orang lain yang melihatnya. Integritas berarti secara konsisten melakukan apa yang benar, sekalipun dihadapannya ada yang lebih mudah untuk melakukan sesuatu yang secara pribadi menguntungkan. Guru yang berintegritas menunjukkan perilaku bertanggung jawab untuk menyediakan program akademik yang berkualitas.
Orangtua dan masyarakat mengharapkan para guru mengajarkan karakter dan kebajikan moral yang dapat membantu membentuk siswa sehingga menjadi anggota masyarakat yang berguna. Integritas seorang guru tidak lepas dari pengamatan siswa, karena siswa akan mengevaluasi karakter guru didasarkan pada bagaimana cara guru memperlakukan dalam proses pembelajaran. Para siswa tahu bahwa guru peduli, dapat dipercaya, jujur, dan hormat. Guru sebagai model karakter dalam pembelajaran dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Model Kejujuran
Guru menunjukkan kejujuran dengan menyatakan kebenaran dan bertindak dengan cara terhormat. Guru mengevaluasi karya siswa yang didasarkan pada penilaian yang objektif dan terstruktur. Guru memenuhi janji-janji dan komitmen, seperti menjaga kerahasiaan catatan siswa. Guru tidak berbohong, menipu, atau mencuri. Guru memenuhi tanggung jawab secara profesional apalagi yang sudah dapat tunjangan profesi. Sebagai teladan bagi siswa, guru secara konsisten menerima kewajiban moral untuk jujur, terlepas dari situasi apa pun. Kejujuran berfungsi sebagai prasyarat untuk percaya, berkeadilan, tumbuhnya rasa hormat, dan tanggung jawab.
2. Model Kepercayaan
Kepercayaan adalah percaya pada orang lain yang berkembang setiap kali orang tersebut memenuhi janji dan komitmennya. Ketika seorang guru menetapkan dan menjunjung tinggi harapan seperti menyediakan dan memandu untuk tugas tertulis dan belajar siswa, siswa dapat mempercayai guru. Munculnya rasa saling percaya di antara guru dan siswa merupakan kunci keberhasilan pendidikan. Kepercayaan akan mengganti kecemasan atau rasa takut menjadi keterbukaan. Kepercayaan juga membangun kepercayaan diri siswa ketika belajar menggantungkan dirinya pada guru yang akan membantunya tumbuh dan berkembang.
3. Model Keadilan
Keadilan berhubungan erat dengan kepercayaan sehingga siswa dapat dengan cepat belajar apakah mendapat perlakukan diskriminasi atau perlakukan secara tidak adil dari guru. Keadilan menuntut agar semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk memenuhi standar pada tes tertulis atau keterampilan dan menerima nilai yang sesuai. Guru yang adil percaya pada kemampuan masing-masing siswa untuk belajar, dan mendorong setiap siswa untuk mencapai pada tingkat kemungkinan tertinggi. Guru adil ketika mereka memberi hukuman berat dan ringan yang sama kepada siswa yang melanggar kebijakan di ruang kelas. Salah satu cara agar guru dapat menunjukkan keadilan kepada siswa adalah dengan menunjukkan rasa hormat kepada setiap siswa sebagai individu yang unik.
4. Model Kehormatan
Mengembangkan rasa hormat di masyarakat yang dikembangkan dalam kelas sangat penting. Proses ini dimulai dengan cara guru menunjukkan rasa hormat terhadap siswa, tanpa memandang suku, ras, gender, status sosial ekonomi, atau karakteristik individu atau kemampuan. Guru yang peduli dan menghormati siswanya menjadi sensitif dan penuh perhatian terhadap perasaan siswa. Kesopanan di dalam dan di luar kelas mengharuskan guru dan siswa menunjukkan rasa hormat dan peduli tentang orang lain. Penghormatan akan diperoleh dengan cara memperlakukan orang lain penuh hormat. Ketika para guru memperlakukan siswa dengan hormat, maka guru akan menerima penghargaan sebagai balasannya.
5. Model Tanggung Jawab
Guru yang menunjukkan tanggung jawab adalah guru yang secara moral bertanggung jawab atas tindakannya dan memenuhi tugas-tugasnya. Ketika guru menciptakan dan mempertahankan lingkungan belajar yang positif dan fokus pada penyediaan pelayanan pendidikan kepada siswa dan masyarakat, dapat dikatakan bertindak secara bertanggung jawab. Guru juga dikatakan bertindak secara bertanggung jawab apabila membantu secara optimal mengembangkan psikomotorik, kognitif, dan kemampuan afektif siswa. Mengadakan persiapan dengan baik untuk setiap kelas dan memberikan umpan balik yang cepat serta konstruktif kepada para siswa untuk membantu memfasilitasi proses pembelajaran juga merupakan guru yang bertanguung jawab. Guru bertanggung jawab untuk mengenali para siswa secara personal, hal ini akan mempermudah guru memahami tentang cara terbaik membantu setiap siswa untuk tumbuh dan berkembang.

7 komentar:

  1. sedikit cuplikan artikel lain yang telah saya baca pada alamat ini :
    http://edukasi.kompasiana.com/2011/10/28/peranan-guru-dalam-pengembangan-pendidikan-karakter-di-sekolah/...menuliskan bahwa :
    Guru menjadi figur teladan bagi peserta didik. Penerimaan peserta didik terhadap materi pembelajaran yang diberikan oleh seorang guru, sedikit tidak akan bergantung kepada penerimaan pribadi peserta didik tersebut terhadap pribadi seorang guru. Ini suatu hal yang sangat manusiawi, dimana seseorang akan selalu berusaha untuk meniru, mencontoh apa yang disenangi dari model/pigurnya tersebut. Momen seperti ini sebenarnya merupakan kesempatan bagi seorang guru, baik secara langsung maupun tidak langsung menanamkan nilai-nilai karakter dalam diri pribadi peserta didik. Dalam proses pembelajaran, intergrasi nilai-nilai karakter tidak hanya dapat diintegrasikan ke dalam subtansi atau materi pelajaran, tetapi juga pada prosesnya

    BalasHapus
  2. I really agree of what have been written in this article. Teacher is a person having big important role of being student's model in acting in their daily life beside parent. He has a really hard job to teach the students not only subject matters but also attitude and behaviors. as we know that in these days more students are acted out of controlled and teacher is also a human as others, there is a time for him that he cannot controlled his anger due to students' behavior. how about this situation?is teacher have no opportunity to angry? he has, but he still need to control and manage their anger in such a manner that it is not harmful each other.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin lebih baik bila ditinjau dari niat awal guru mengajar. apakah dia mengajar karena tuntutan profesi, atau merasa terpanggil. guru yang mengajar karena tuntutan profesi bisa jadi masih bisa berusaha untuk menjadi guru yang baik, namun ketika dihadapkan pada situasi yang menyangkut emosi, guru tipe ini lebih mudah untuk lepas kontrol. berbeda dengan guru yang memang mengajar karena terpanggil.

      Hapus
  3. Lembaga pendidikan dan guru dewasa
    ini dihadapkan pada tuntutan
    yang semakin berat, terutama untuk
    mempersiapkan peserta didik agar
    mampu menghadapi berbagai dinamika
    perubahan yang berkembang dengan
    sangat cepat. Perubahan yang terjadi
    tidak hanya berkaitan dengan dinamika
    perubahan ilmu pengetahuan
    dan teknologi, tetapi juga menyentuh
    perubahan dan pergeseran aspek nilai
    dan moral dalam kehidupan masyarakat.
    Contoh, dekadensi moral dan karakter
    buruk yang ditunjukkan siswa
    sudah merupakan bagian yang tidak
    terpisahkan dalam dunia pendidikan.
    Kekerasan yang dilakukan pelajar kian
    memprihatinkan, seperti aksi premanisme
    yang dilakukan oleh pelajar yang
    tergabung dalam Geng Nero (Nekoneko
    dikeroyok), dan banyak lagi perilaku
    kekerasan lainnya. Geng Nero barangkali
    hanya salah satu potret dari
    sekian banyak geng yang ada di lingkungan
    masyarakat yang dilakukan
    oleh pelajar. Kejadian ini mungkin juga
    pernah dialami oleh sekolah-sekolah lain,
    namun tidak terekspos media massa.
    Selain perilaku kekerasan, juga isu-isu
    moralitas di kalangan remaja, seperti
    penggunaan narkotika, pornografi, perkosaan,
    perampasan, dan perusakan milik
    orang lain sudah menjadi masalah
    sosial yang hingga saat ini belum dapat
    diatasi secara tuntas. Akibat yang ditimbulkan
    cukup serius dan tidak dapat
    lagi dianggap sebagai suatu persoalan
    86
    Cakrawala Pendidikan, Mei 2010, Th. XXIX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
    sederhana karena tindakan-tindakan
    tersebut telah menjurus kepada tindakan
    kriminal.
    Banyak orang berpandangan bahwa
    kondisi demikian diduga berawal dari
    apa yang dihasilkan oleh dunia pendidikan.
    Pendidikanlah yang sesungguhnya
    paling besar memberikan kontribusi
    terhadap situasi ini.

    BalasHapus
  4. Tugas-tugas profesional dari seorang guru yaitu meneruskan atau transmisi ilmu pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai lain yang sejenis yang belum diketahui anak dan seharusnya diketahui oleh anak.


    Tugas manusiawi adalah tugas-tugas membantu anak didik agar dapat memenuhi tugas-tugas utama dan manusia kelak dengan sebaik-baiknya. Tugas-tugas manusiawi itu adalah transformasi diri, identifikasi diri sendiri dan pengertian tentang diri sendiri.


    Usaha membantu kearah ini seharusnya diberikan dalam rangka pengertian bahwa manusia hidup dalam satu unit organik dalam keseluruhan integralitasnya seperti yang telah digambarkan di atas. Hal ini berarti bahwa tugas pertama dan kedua harus dilaksanakan secara menyeluruh dan terpadu. Guru seharusnya dengan melalui pendidikan mampu membantu anak didik untuk mengembangkan daya berpikir atau penalaran sedemikian rupa sehingga mampu untuk turut serta secara kreatif dalam proses transformasi kebudayaan ke arah keadaban demi perbaikan hidupnya sendiri dan kehidupan seluruh masyarakat di mana dia hidup.
    Tugas kemasyarakatan merupakan konsekuensi guru sebagai warga negara yang baik, turut mengemban dan melaksanakan apa-apa yang telah digariskan oleh bangsa dan negara lewat UUD 1945 dan GBHN.
    Peran guru sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
    oleh karena itu, setiap tindakan guru dalam kegiatan belajra mengajar secara tidak angsung harus mencerminkan perilaku positif yang nantinya bisa ditiru anak didik..

    BalasHapus
  5. When I first began teaching, I was acutely aware that I didn’t have much in the way of technical skills. I wasn’t able to distinguish between a child who relied on graphophonic strengths to decode words and the child who relied on their understanding of the story. I couldn’t think of any better way to describe one-digit addition than “Just put the two together!” I could highlight grammatical errors in my second grade students’ writing until my ink ran dry, but I couldn’t seem to impress upon them the necessity of the occasional period.
    What I could do was perform. I knew that each day I would be face to face with 27 eager, expectant, fidgety seven-year-olds, and that I had better hold their attention if I had a chance as their teacher. Every first-year teacher approaches this situation with some unique response. Some straighten up, button down, and become rigid authoritarians, circling the room and eager to silence the most benign whispering. Still others are catatonic, and stare out from the corner while hugging their planbook, afraid to draw any attention to themselves. Many well-intentioned young teachers I knew were prepared to start the year as the nicest and “bestest” big brother or sister their students had ever seen, fully ready to patiently implore their students to quiet down until their requests were lost in the confusion

    BalasHapus
  6. yuk di cob4 g4m3 b4ru (Bandar Poker) dari ionqq,,, ingin jadi bandar segera bergabung bersama kami di ionQQ^c0m|
    n1km4t1 b0nu5 r3f3r4l 20'% dan c4sh b4ck 0'3 % s3ti4p m1ngguny4 * pin BB : 58ab14f5

    BalasHapus